GARDATIMURNEWS.COM | MAKASSAR– Dua Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Tana Toraja, Natalia Josi Batara dan Marten Girik Allo, melaporkan dugaan tindakan semena-mena yang dilakukan pimpinan daerah mereka ke Ombudsman RI Perwakilan Sulawesi Selatan.
Keduanya merasa menjadi korban mutasi dan penurunan jabatan atau demosi tanpa alasan yang sah dan transparan.
Lia Batara posisi Kabid pencemaran dan pengendalian dampak lingkungan turun menjadi kasubag program dan evaluasi pada dinas perhubungan
Marten yang dulunya adalah Sekretaris Dinas Informatika dan Persandian, kini harus menerima jabatan sebagai Kepala Sub Bidang Bela Negara di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik.
Selain kehilangan posisi strategis, keduanya juga mengalami penurunan pangkat dan tunjangan yang berimbas langsung pada karier dan penghidupan mereka.
Tidak terima dengan perlakuan tersebut, keduanya kemudian melaporkan dugaan maladministrasi ini ke Ombudsman RI Perwakilan Sulsel pada awal tahun 2025.
Laporan ini pun langsung ditindaklanjuti dan saat ini tengah dalam tahap penyelidikan intensif oleh tim Ombudsman.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Perwakilan Sulsel, Ismu Iskandar, menyatakan bahwa proses pemeriksaan akan berlangsung selama 60 hari.
Menurutnya, pihaknya telah memanggil seluruh pejabat yang terkait, termasuk Sekretaris Daerah (Sekda), Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM), serta Kepala Inspektorat Pemkab Tana Toraja.
Tujuannya untuk mengkaji sejauh mana proses mutasi dan demosi ini telah sesuai dengan prosedur dan ketentuan undang-undang kepegawaian.
Ismu menegaskan bahwa Ombudsman tak segan meminta klarifikasi hingga ke Badan Kepegawaian Negara (BKN) jika ditemukan pelanggaran atau indikasi penyalahgunaan wewenang. Ia menyebut,
“Kami ingin memastikan bahwa kebijakan yang diambil oleh pimpinan tidak melanggar asas keadilan dan tidak merugikan ASN tanpa alasan hukum yang kuat.”
Sekda Tana Toraja, Rudy Andi Lolo, yang hadir memenuhi panggilan Ombudsman, berdalih bahwa keputusan demosi tersebut adalah kewenangan pimpinan tertinggi, yakni Bupati Tana Toraja sebelumnya.
Ia menyatakan bahwa pihaknya hanya menjalankan keputusan yang sudah ditetapkan oleh pimpinan terdahulu sebelum masa jabatan bupati saat ini dimulai.
Namun, pernyataan tersebut dianggap publik sebagai upaya melempar tanggung jawab.
Pasalnya, penurunan jabatan tanpa evaluasi kinerja atau proses klarifikasi terlebih dahulu patut diduga sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika birokrasi.
Sejumlah pihak menduga tindakan ini bisa saja dipicu oleh faktor non-teknis, seperti perbedaan pandangan politik atau ketidaksukaan pribadi terhadap kedua ASN tersebut.
Langkah Natalia dan Marten mengadu ke Ombudsman menjadi sorotan publik, mengingat praktik demosi semacam ini kerap luput dari perhatian dan jarang terbuka di ruang publik.
Kasus ini memperlihatkan bagaimana ASN rentan menjadi korban kekuasaan sepihak, terlebih jika mekanisme pengawasan dan evaluasi kinerja tidak berjalan secara objektif dan profesional.
Proses pemeriksaan oleh Ombudsman masih berlangsung. Jika terbukti ada pelanggaran administratif atau penyalahgunaan wewenang, maka lembaga pengawas ini akan mengeluarkan rekomendasi untuk pemulihan hak ASN serta perbaikan sistem tata kelola kepegawaian di Tana Toraja.
Masyarakat kini menanti keberanian Ombudsman dalam menegakkan keadilan bagi para ASN yang menjadi korban.
Natalia dan Marten berharap keadilan ditegakkan dan hak mereka sebagai aparatur negara dapat dipulihkan. Jabatan mungkin bisa dikembalikan, tetapi nama baik dan martabat mereka sebagai ASN yang bekerja sesuai aturan harus tetap dijaga.(/*)