GARDATIMURNEWS.COM || Takalar – 43723379 November 2025 – Kapabilitas Pemerintah lurah Rajaya, Polongbangkeng Selatan, Kabupaten Takalar, dalam menangani sengketa lahan kembali menjadi sorotan publik. Kasus krusial terbaru melibatkan warga Lingkungan Rajaya Baru, Bundu Dg. Beta, yang telah menguasai dan menggarap lahan seluas -/+61 are selama bertahun-tahun, bahkan sejak sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia.

Konflik yang terus bergulir ini memunculkan dugaan terhadap kepemimpinan lurah Rajaya akan ketidakmampuan dalam mediasi atau dugaan ketidakpahaman dalam manajemen konflik agraria di tingkat kelurahan. Dugaan ini semakin menguat menyusul diterbitkannya surat himbauan pengosongan lahan yang ditujukan langsung kepada pihak Bundu Dg. Beta oleh Lurah Rajaya.
Pihak keluarga Bundu Dg. Beta dengan tegas membantah klaim dari oknum yang mengaku-ngaku kepemilikan. Tayeb, salah satu anak dari Bundu Dg. Beta, dalam wawancara eksklusif pada 6 November 2025, menyatakan:
“Kami dari dulu telah menggarap lahan tersebut, bahkan sebelum kemerdekaan, nenek dan orang tua kami telah menguasai dan menggarapnya dan sama sekali tidak pernah menjual kepada siapapun. Namun kini ada oknum yang berani mengklaim dan mengaku-ngaku sebagai lahan miliknya dengan hanya menunjukkan selembar kertas surat pernyataan yang ditulis tangan dan itupun bukan atas nama Bundu Dg. Beta sebagai penjual.” Tayeb juga menegaskan bahwa mereka adalah pihak yang selama bertahun-tahun menguasai dan membayar pajak lahan tersebut.
Langkah Lurah Rajaya yang menerbitkan surat himbauan pengosongan kepada pihak Bundu Dg. Beta dinilai berindikasi terhadap keberpihakan dan justru dapat memperkeruh suasana.

“Kalau seperti ini caranya kami menilai kalau Pak lurah, sama saja telah mengusir dan menghalangi kami mendiami dan menggarap lahan tersebut padahal dari dulu sampai sekarang Kamilah yang menguasai dan membayar pajak selama bertahun-tahun, bukan berarti kami tidak mau, namun persoalan ini kan belum terbukti atas klaim Munafri Dg. Lau atas lahan tersebut, dan mereka itu keliru, asal cari perkara saja tanpa menelaah atau menganalisis dengan baik data atau duduk perkaranya,” tutur Tayeb.
Saat dikonfirmasi, Lurah Rajaya, Muhammad Nasir, menyatakan bahwa langkah tersebut diambil untuk “mencegah hal-hal yang tidak diinginkan”. Ia juga mengakui bahwa kasus ini telah dilimpahkan ke tingkat kecamatan.
“Persoalan ini juga telah kami limpahkan ke kecamatan karena di kelurahan tidak ada titik temu,” ujar Pak Lurah.
Kasus sengketa lahan ini tidak hanya mengenai penguasaan aset, tetapi juga secara kritis menyoroti kemampuan Lurah dalam bertindak sebagai mediator yang adil dan netral, dalam menentukan arah kebijakan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Kebutuhan akan keahlian mediasi dan analisis persoalan tanpa intervensi internal dan eksternal, emosional, maupun kepentingan, menjadi tuntutan mendesak bagi kepemimpinan Kelurahan Rajaya dalam menyelesaikan konflik agraria di wilayahnya.
Dari berbagai kasus tentang agraria dikabupaten takalar yang marak terjadi, sehingga masyarakat berharap agar setiap pemimpin atau penentu kebijakan ditingkat kelurahan maupun desa harus benar-benar memiliki kemampuan analisis yang tajam, tanpa intervensi internal dan eksternal. Terkhusus atas kasus yang dialami oleh saudara Bundu Dg Beta di kelurahan Rajaya kabupaten takalar.(*)


