GARDATIMURNEWS.COM, ACEH TAMIANG – Kabupaten Aceh Tamiang adalah salah satu daerah di Provinsi Aceh yang paling marak melakukan pembalakan liar (illegal logging). Minggu (10/9/2023).
Aksi pembalakan liar tesebut, selain dilakukan di wilayah Aceh Tamiang juga dilakukan di luar wilayah lain sehingga cukong kayu bebas berkeliaran menampung kayu hasil pembalakan liar.
Seperti di Kampung Kota Lintang, Kecamatan Kota Kuala Simpang Kabupaten Aceh Tamiang puluhan tahun Sawmil milik pengusaha kayu ‘Pak Imam dan Yunus’ ini diduga beroperasi tak mengantongi izin. Baik izin mendirikan bangunan (IMB) dan Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIHHK), maupun Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBI) bagi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK).
Menurut informasi yang dihimpun, 2 buah Sawmil yang masing-masing milik ‘Pak Imam dan Yunus’ mesin pengolahan kayu itu, diduga menampung kayu log hasil pembalakan liar dari hutan. Yang didatangkan melalu jalur sungai Aceh Tamiang secara terang-terangan.
Dari pantauan di lapangan, lokasi Sawmil ‘Pak Imam dan Yunus tersebut berada di Kampung Kota Lintang, Kecamatan Kota Kuala Simpang atau tepatnya pinggiran sungai Tamiang. Dan hanya berjarak sekitar 300 meter dari jalan lintas Negara.
Salah seorang warga setempat meminta namanya untuk tidak disebutkan kepada awak media, terkait keberadaan Sawmil ‘Pak Imam dan Yunus’ mengatakan, Sawmil tersebut diduga tidak memiliki izin, baik IBM maupun SITU dan HO. “ Semua mereka itu tidak memilik izin,” jelasnya.
Sementara itu, Yunus sebagai pemilik Sawmil, dengan sudah beberapa naik tayang di pemberitaan, melalui pesan WhatsApp meminta untuk bertemu dengan awak media. Sampai berita ini diterbitkan belum terwujud.
Pak Imam yang sudah pernah ketemu dengan awak media beberapa hari yang lalu di salah satu Caffe di Aceh Tamiang, tidak menunjukkan surat izin tentang Sawmil dan izin lainnya. Hanya duduk sebentar kemudian pergi meninggalkan awak media begitu saja.
Ironisnya, hingga saat ini Sawmil tersebut masih tetap melakukan aktivitas ilegal dan menerima hasil kayu olahan dari berbagai tempat. Meski demikian pihak penegak hukum dan Dinas terkait terkesan menutup mata.
Jika mengacu pada Inpres Nomor 04 tahun 2005 kepolisian dan pihak terkait setelah mengetahui hal tersebut mestinya harus melakukan penyelidikan terhadap pengolahan kayu dan jika ditemukan adanya perbuatan melawan hukum maka, pemilik sawmil tersebut harus diproses secara hukum.
Ketentuan pidana menurut UU No. 41 / 1999 Tentang Kehutanan yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari.
Tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan.
Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidannya berat.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (1) menyatakan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5 milyar.
“Instruksi Presiden sudah terang benderang. Olehnya itu, sudah sepatutnya kepada pihak kepolisian agar segera melakukan penyelidikan dan menindak tegas pemilik Sawmil baik dengan sanksi administratif maupun Pidana.
Sepatutnya penegak hukum harus bertindak penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan ilegal. Sehingga para pelaku termasuk pemodal, penadah, dan aktor intelektual dalam kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal tidak leluasa menjalankan aksinya.(DANTON)Adm : Salman Sitaba